Piong bo'bo

Piong Bo'bo adalah salah satu mahakarya kuliner tradisional dari suku Toraja, Sulawesi Selatan. Istilah "Bo'bo" dalam bahasa Toraja merujuk pada nasi atau beras. Pa'piong Bo'bo sebagai pangan lokal khas Toraja yang berbahan dasar beras (seringkali beras ketan) yang dimasak bersama santan dan bumbu sederhana di dalam wadah bambu. Pa'piong Bo'bo merupakan salah satu varian dari beberapa pa'piong yang ada di Toraja. Lantas, apa yang menjadi pembeda Pa'piong ini dari varian-varian Pa'piong yang lain?
Sejarah dan Asal-Usul Piong Bo'bo
Sejarah Pa'piong Bo'bo tidak dapat dipisahkan dari tiga aspek utama: teknologi, ekologi, dan ritual masyarakat Toraja. [1] Pada mulanya Pa'piong adalah teknik memasak yang sudah ada sejak lama, jauh sebelum penggunaan alat masak logam (panci atau periuk) menjadi umum di daerah pegunungan seperti Toraja. Hutan Toraja yang kaya akan bambu (buluh), menjadikannya wadah yang mudah didapat, murah, dan sekali pakai. Teknik ini lahir dari kebutuhan praktis memasak bagi masyarakat yang sering berpindah atau pada saat acara besar yang membutuhkan volume makanan banyak tanpa harus menggunakan banyak alat masak permanen. [2]
Varian Bo'bo (beras) adalah yang paling mendasar, berfungsi sebagai sumber karbohidrat utama. Sejarahnya sejalan dengan sejarah penanaman padi dan ketan oleh masyarakat Toraja. Pa'piong Bo'bo adalah bentuk purba dari memasak nasi/ketan yang memberikan rasa unik karena proses karamelisasi santan dan beras di bawah tekanan panas bambu.
Secara historis, Pa'piong, termasuk Pa'piong Bo'bo, mengalami pergeseran fungsi dari kebutuhan praktis menjadi hidangan ritual. Pa'piong Bo'bo dikaitkan erat dengan upacara syukur atau panen (Rambu Tuka'). Sejarahnya menunjukkan bahwa makanan ini secara khusus disajikan untuk merayakan kemakmuran dan hasil panen yang melimpah (beras ketan, santan), menjadikannya simbol kesejahteraan. Memasak dengan bambu merupakan sebuah proses komunal, sering dilakukan bersama-sama oleh keluarga besar saat acara adat. Secara historis, Pa'piong Bo'bo menjadi salah satu sajian yang menunjukkan kekeluargaan dan gotong royong dalam ritual adat. [3]
Makanan ini mirip dengan Lemang yang menjadi makanan khas di beberapa wilayah Indonesia, bedanya pembuat Piong Bo’bo menambahkan bawang goreng dalam racikannya, menjadikan Piong Bo’bo memiliki aroma khas. Piong Bo’bo umumnya dibuat untuk acara syukuran panen di gereja. Dibuat oleh anggota gereja dan umumnya 1 rumah membawa 4-10 batang Piong Bo’bo. Sebagian akan dimakan bersama, sebagiannya lagi akan dilelang untuk dibawa pulang sebagai rangkaian acara syukuran di gereja. Harga lelang untuk 1 bambu Piong Bo’bo dimulai dari harga 50 ribu rupiah/1 bambu. Selain itu, Piong Bo’bo juga biasa dibuat sebagai bekal saat akan ada keluarga yang merantau karena bisa bertahan sampai 3 hari.[4]
Bahan Pembuatan
- Santan kelapa 1 biji;
- Beras ketan 2 liter (bisa menggunakan ketan merah, ketan putih, atau ketan hitam yang dicampur dengan sedikit ketan putih agar rasanya tidak pahit);
- Bawang merah goreng secukupnya;
- Garam secukupnya;
- Daun pisang untuk melapisi bambu secukupnya;
- Bambu potong 60 cm sebanyak 6 batang (yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. karena kalau terlalu muda beras akan susah masuk kalau terlalu tua akan cepat hangus).
Cara pembuatan
- Beras ketan direndam di air, semakin lama semakin bagus (sekitar 4-5 jam).
- Air rendaman lalu dibuang. Campur beras ketan dengan bawang merah yang sudah digoreng dan diberi garam. Campuran bahan kemudian dimasukkan perlahan ke dalam bambu yang sudah dilapisi daun pisang.
- Setelah bambu penuh dengan beras ketan, air santan kemudian dimasukkan perlahan ke bambu hingga penuh.
- Bambu lalu dibakar namun tidak langsung mengena api. Disarankan menggunakan daun kelapa kering sebagai bahan bakar.
- Setelah 1 jam setengah (tergantung teknik pembakaran) bambu dikupas lalu Piong Bo’bo dipotong-potong dan ditata di piring. Tapi, jika penyajiannya di gereja, tidak perlu pakai piring, jemaat gereja lebih memilih menyantapnya langsung dari bambu yang telah dibelah.
Referensi
- ↑ Awaluddin, I., & Rante, R. (2022). Eksplorasi Makanan Khas Toraja dan Peranannya dalam Kehidupan Masyarakat Toraja. Aksioma: Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 11(2), 118–127.
- ↑ Tallo, E. (2020). Bambu Sebagai Wadah Memasak Tradisional: Kajian Etnobotani dan Gastronomi di Sulawesi Selatan. Jurnal Etnobotani Indonesia, 2(1), 50–65.
- ↑ Sangkala, W. (2018). Pergeseran Nilai Makanan Tradisional Toraja Dalam Upacara Adat Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. [Tesis/Skripsi]. Universitas Hasanuddin.
- ↑ Kata Kerja (2022). Ensiklopedia Pangan Olahan Lokal Sulawesi Selatan dan Barat. Hal 160-162.
