Beras

Dari WikiPangan

Padi (Oryza sativa) merupakan tanaman serealia utama penghasil beras, makanan pokok masyarakat Indonesia. Padi berasal dari bahasa Proto-Austronesia pajay, yang kemudian berkembang menjadi pare, pari, atau pade di berbagai daerah; sementara kata beras diturunkan dari bentuk Proto-Austronesia beras atau belas, yang merujuk pada bulir padi yang telah digiling. Nama padi dan beras di Nusantara pun sangat beragam: pare (Sunda), pari (Jawa), pade (Aceh), pare (Bugis-Makassar), parei (Dayak), dan indahan untuk beras dalam bahasa Batak.

Gabah (bulir padi), foto: Dinnar DAT

Padi pertama kali di domestikasi di lembah Sungai Yangtze sekitar 13.500-8.500 tahun sebelum peradaban modern[1]. Seiring migrasi dan perdagangan, padi menyebar ke Nusantara, dan sejak itu masyarakat Indonesia membangun sistem agraris yang menjadikan beras sebagai pusat kehidupan: dari ritual penanaman, upacara panen, hingga penyimpanan hasil.

Klasifikasi awal padi terdiri atas dua subspesies utama: japonica yang berbulir pendek dan pulen, serta indica yang berbulir panjang dan cenderung pera. Karena memiliki genom yang mudah dimodifikasi, padi kemudian berkembang menjadi organisme model dalam penelitian serealia. Kemudahan ini mendorong lahirnya berbagai varietas beras dengan karakter khas, mulai dari aroma melati pada beras Thailand hingga wangi pandan pada beras Pandanwangi dari Jawa Barat. Budidaya padi modern sebagian besar difokuskan pada produktivitas, namun keberagaman alami maupun hasil pemuliaan tetap menciptakan beras dengan cita rasa, tekstur, dan aroma yang unik. Meskipun beras umumnya dibudidayakan di lahan tergenang, berbagai kultivar kini terbukti mampu tumbuh di lahan kering maupun rawa, memperluas adaptasi padi di berbagai ekosistem Nusantara[2].

Morfologi & Reproduksi

Padi di sawah, foto: iStock

Padi termasuk dalam keluarga Poaceae, merupakan terna semusim yang berakar serabut dengan batang sangat pendek; struktur batang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling menopang. Daunnya berbentuk lanset, berwarna hijau muda hingga hijau tua, berurat sejajar, dan permukaannya ditutupi rambut halus yang jarang. Bunga padi tersusun majemuk dalam bentuk malai bercabang, dengan floret yang mengelompok dalam spikelet pada panikula. Buahnya bertipe bulir (kariopsis), yaitu bentuk buah–biji yang menyatu sehingga tidak dapat dibedakan, berukuran sekitar 3–15 mm, berbentuk bulat hingga lonjong, dan tertutup oleh palea–lemma yang dikenal sebagai sekam. Bagian yang umum dikonsumsi adalah endosperma, yang setelah digiling menjadi beras dan menjadi sumber energi utama bagi masyarakat Indonesia.

Bunga padi memiliki enam kepala sari dan satu kepala putik bercabang dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini matang hampir bersamaan sehingga memungkinkan penyerbukan sendiri hingga ±95%. Setelah anther masak dan keluar dari lemma–palea, serbuk sari membuahi sel telur, menghasilkan zigot yang berkembang menjadi embrio, sementara inti polar berkembang menjadi endosperm. Padi merupakan tanaman diploid dengan 12 pasang kromosom, dan ukuran genomnya relatif kecil (1,6–2,3 × 10⁸ bp), sehingga menjadi organisme model genetik yang genomnya sudah disekuensing[3].

Budaya

Acara seren taun di Kasepuhan Gelar Alam, foto: Dinnar DAT

Budaya padi di Nusantara mengikuti siklus tanam–panen–simpan yang sarat nilai syukur dan kearifan ekologis. Musim tanam biasanya diawali ritual seperti ngaseuk di Sunda dan mappalili di Sulawesi Selatan, sebagai penanda dimulainya pekerjaan sawah sekaligus menjaga keharmonisan manusia dengan alam. Setelah panen, berbagai daerah menggelar upacara syukur: Nganyaran di Baduy, Ngusaba dalam sistem Subak Bali, hingga Mappadendang di Bugis. Dalam tradisi Seren Taun di Kasepuhangelar alam, puncak syukur diwujudkan melalui prosesi nyerenkeun taun, yakni menyerahkan hasil panen kepada pemangku adat sebagai permohonan berkah untuk musim berikutnya sekaligus menjaga keberlanjutan benih lokal.

Jineng (lumbung padi di Bali), foto: sesawi.net

Setelah upacara panen gabah (bulir padi) tidak langsung digiling menjadi beras, gabah disimpan menggunakan sistem tradisional yang telah teruji ratusan tahun. Masyarakat Baduy menggunakan leuit, orang Kalimantan menyimpan padi di alang, sementara di Desa Pandawa Buleleng Bali masih mempertahankan jineng (lumbung padi) tradisional sebagai ruang penyimpanan sekaligus identitas budaya. Penelitian etnografi menunjukkan bahwa struktur penyimpanan adat, mampu menjaga mutu gabah, mempertahankan kadar air, serta berfungsi sebagai strategi ketahanan pangan jangka panjang[4]. Dengan demikian, rangkaian praktik tanam–panen–simpan ini bukan hanya tradisi, melainkan sistem pangan lokal yang memadukan spiritualitas, manajemen benih, dan keberlanjutan lingkungan, menjadikan padi sebagai poros budaya agraris Nusantara hingga kini.

Jajaran Leuit, foto: Tiara DS

Keanekaragam Budidaya

Adaptasi padi terhadap lingkungan membentuk berbagai tipe budidaya. Padi gogo tumbuh di lahan kering dan sering ditanam dengan sistem tumpangsari bersama jagung atau ketela. Padi rawa berkembang di wilayah pasang surut dan mampu memanjangkan batang mengikuti naik-turunnya air. Dari sisi kualitas beras, dikenal padi pulen, pera, dan ketan, dengan kandungan amilosa yang berbeda. Inovasi pemuliaan meningkat pesat sejak berdirinya IRRI, menghasilkan varietas revolusioner seperti IR5 dan IR8, kemudian berkembang menjadi ribuan persilangan untuk meningkatkan hasil dan ketahanan terhadap OPT maupun stres abiotik. Era bioteknologi melahirkan inovasi seperti Golden Rice yang mengandung provitamin A dan padi transgenik tahan hama untuk menekan pestisida[5].

Pengolahan Gabah hingga Menjadi Nasi

Setelah panen, gabah dipisahkan dari jerami melalui diiles, dipukul, atau memakai mesin perontok. Bulir lalu dijemur hingga mencapai kondisi Gabah Kering Giling (GKG) selama 3–7 hari, tergantung intensitas matahari. Dahulu gabah kerap dijemur bersama merang, namun kini lebih sering dipisahkan sejak awal.

Gabah kering dapat disimpan, dijual dalam skala besar, atau langsung digiling. Pada proses penggilingan, gabah diubah menjadi beras, disertai hasil ikutan: sekam untuk bahan bakar, merang untuk kerajinan atau pakan, bekatul sebagai sumber vitamin B, dan dedak untuk pakan ternak. Beras kemudian dimasak menjadi nasi melalui cara ditanak, ditim, atau diolah menjadi pangan tradisional seperti ketupat, lontong, dan lemang, serta ramuan seperti beras kencur dan param.

Kandungan Zat Gizi

Komposisi zat gizi beras mentah tiap 100 gram, dengan berat yang dapat dimakan 100%[6].

Komponen Gizi Jumlah
Energi (Kal) 357 Kal
Protein (g) 8.4 g
Lemak (g) 1.7 g
Karbohidrat (g) 77.1 g
Serat (g) 0.2 g
Abu (g) 0.8 g
Kalsium (mg) 147 mg
Fosfor (mg) 81 mg
Besi (mg) 1.8 mg
Natrium (mg) 27 mg
Kalium (mg) 71 mg
Tembaga (mg) 0.10 mg
Seng (mg) 0.5 mg
Retinol (Vit. A) 0 mcg
Beta-Karoten 0 mcg
Karoten Total 0 mcg
Thiamin (Vit. B1) 0.20 mg
Riboflavin (Vit. B2) 0.08 mg
Niasin (Niacin) 2.6 mg

Komposisi zat gizi beras ketan hitam mentah tiap 100 gram, dengan berat yang dapat dimakan 100%[6].

Komponen Gizi Jumlah
Air (Water) 13.7 g
Energi (Kal) 360 Kal
Protein 8.0 g
Lemak 2.3 g
Karbohidrat 74.5 g
Serat 1.0 g
Abu 1.5 g
Kalsium 10 mg
Fosfor 347 mg
Besi 6.2 mg
Natrium 11 mg
Kalium 288 mg
Tembaga 0.28 mg
Seng 2.2 mg
Retinol (Vit. A) 0 mcg
Beta-Karoten 0 mcg
Karoten Total 0 mcg
Thiamin (Vit. B1) 0.24 mg
Riboflavin (Vit. B2) 0.10 mg
Niasin (Niacin) 2.0 mg

Referensi

  1. Shadily H. 1984. Ensiklopedi Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve.
  2. Indonesian Gastronomy Foundation. 2025. Pusaka Rasa Nusantara: Keanekaragaman Bahan Pangan Indonesia.
  3. https://agrindo.net/padi
  4. Suandi M, Ribawati E. 2025. Leuit sebagai warisan kearifan lokal dan penopang ketahanan pangan masyarakat Baduy. Sindoro Cendekia Pendidikan. 16(3): 101-110.
  5. Amna, Qamar S, Tantray AY, Bashir SS, Zaid A, Wani SH. 2020. Golden rice: genetic engineering, promises, present status and future prospects. Rice research for Quality Improvement: Genomics and Genetic Engineering.
  6. 6,0 6,1 Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018. https://panganku.org/id-ID/view