Pekawai

Dari WikiPangan
Buah Pekawai, sumber: Kiprah agroforestri

Pekawai (Durio kutejensis) atau lai merupakan buah hutan khas Kalimantan yang punya potensi besar, tetapi sampai sekarang masih masuk kategori underutilized fruit trees (UFTs) karena pemanfaatannya belum meluas. Sebagai anggota keluarga Durio, pekawai berada dalam satu kelompok dengan kerantungan (Durio oxleyanus), apun (Durio excelsus), tuwala (Durio graveolens), sekura (Durio testudinarum), sukang (Durio grandiflorus), dan lahong (Durio dulcis). Statusnya sebagai buah endemik Kalimantan sekaligus menjelaskan mengapa penyebarannya terbatas dan pemanfaatannya belum setara dengan durian komersial[1].

Di Desa Mensiau Kalimantan Barat, masyarakat dayak memanen pekawai setelah musim durian berakhir, sehingga ketersediaannya lebih sedikit dan cepat habis. Padahal buah ini sangat lezat, teksturnya lebih lengket dan kering, tidak seperti durian yang lembek dan mudah hancur. Rasanya juga manis tipis. Ditambah aromanya lembut, bagi orang yang tidak suka durian karena baunya pun akhirnya terus mencoba dan mulai menikmatinya.

Dari begitu banyak jenis durian hutan dan kerabatnya, hanya lima yang sejauh ini berhasil dibudidayakan serta menghasilkan kultivar lokal, dan itu pun masih kalah bersaing dengan kultivar luar yang lebih menjanjikan sehingga lebih dipilih petani. Padahal, masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki sedikitnya 266 jenis buah yang dapat dikonsumsi, meski hanya sebagian kecil yang hadir rutin di lahan dan pasar karena preferensi konsumen kini lebih condong pada buah yang manis[2]. Buah lokal yang cenderung memiliki cita rasa masam sering tersisih, meski dari sisi gizi justru memiliki potensi besar terlebih di tengah meningkatnya kasus diabetes di Indonesia, seperti yang disoroti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kandungan gula bukan satu-satunya hal yang perlu diperhatikan dalam memilih buah.

Morfologi

Secara morfologi, pekawai memiliki bentuk yang menyerupai durian kecil dengan kulit berwarna kuning hingga oranye cerah, tergantung varietasnya. Duri-durinya lebih pendek dan rapat, sehingga tampak lebih “jinak” dibanding durian biasa. Daging buahnya tebal, agak kering, dan tidak terlalu berair, dengan rasa manis ringan serta aroma yang jauh lebih lembut. Teksturnya yang lengket menjadi ciri khas utama yang membedakannya dari durian komersial yang cenderung lembek dan beraroma kuat.

Tinggi pohon dapat mencapai 25 m, berdaun elips memanjang berukuran 20–33 × 6–12 cm dengan permukaan atas hijau halus dan bagian bawah berwarna keperakan keemasan. Bunganya berwarna merah muda kemerahan berdiameter sekitar 6,6 cm.

Persebaran

Pohon pekawai tumbuh di hutan hujan dataran rendah Kalimantan, termasuk kawasan pedesaan yang masih memiliki tutupan hutan alami. Tanaman ini sering dijumpai di sela-sela kebun karet lama, tepian hutan desa, atau area yang belum lama dibuka untuk budidaya. Meski secara alami menyebar luas di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Utara, populasinya cenderung menurun karena masyarakat lebih memilih menanam tanaman komersial seperti sawit, durian unggul, atau tanaman bernilai pasar tinggi lainnya.

Sejarah

Pekawai telah lama menjadi bagian dari konsumsi masyarakat adat Kalimantan Barat. Tetua-tetua adat, seperti para sesepuh Dayak Iban di Desa Mensiau, menceritakan bahwa buah ini biasa muncul setelah musim durian lewat. Dulu, pekawai dipanen langsung dari pohon-pohon tua yang tumbuh alami di hutan desa. Namun seiring perubahan ekonomi lokal, mulai dari berkembangnya kebun sawit hingga meningkatnya penambangan emas sungai minat menanam pekawai semakin berkurang. Pohon-pohon tersisa kini banyak ditemukan sebagai “warisan” di kebun-kebun lama atau tegakan hutan yang masih terjaga.

Kandungan Gizi

Dari sisi nutrisi, pekawai menyimpan keunggulan yang jarang diketahui. Kandungan gulanya lebih rendah dibanding durian monthong, namun kadar seratnya justru lebih tinggi. Dalam 100 gram durian monthong terdapat 3,2 gram serat dan 14,89 gram gula[3]. Sedangkan, kandungan gula pekawai kultivar kuning jauh lebih rendah yaitu hanya 6,44 gram saja. Nilai kandungan seratnya pun lebih tinggi di banding durian, yaitu 4,25 gram[4].

Referensi

  1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. 2005. Keanekaragaman Jenis dan Sumber Plasma Nutfah Durio (Durio spp.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah. 11 (1): 28-33. Diakses dari https://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/2130
  2. Uji T. Species diversity of indigenous fruits in Indonesia and its potential. Biodiversitas Journal of Biological Diversity. 8:2.
  3. Aziz NA, Jalil AM. Bioactive Compounds, Nutritional Value, and Potential Health Benefits of Indigenous Durian (Durio Zibethinus Murr.). Foods. 13: 8(3).
  4. Kiprah AgroForestri. Pekawai kerabat durian yang kurang terkenal tapi menyimpan potensi. diakses dari https://kiprahagroforestri.id/blog/pekawaikerabat-durian-yang-kurang-terkenal-tapi-menyimpan-potensi