Ubi Hutan

Dari WikiPangan
Revisi sejak 5 Agustus 2025 09.58 oleh Kartini.sarotama (bicara | kontrib) (Saya menambahkan taksonomi, morfologi, pemanfaatan tradisional dan kandungan gizi)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
ubi hutan
ubi hutan

Ubi Hutan merupakan golongan umbi-umbian yang tumbuh di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada umumnya Masyarakat Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi NTT, menanam ubi hutan untuk digunakan sebagai cadangan makanan dikala musim kemarau Panjang. Ubi hutan memiliki ukuran yang cukup besar, dapat mencapai 50 cm. Terdapat 2 jenis ubi hutan, yaitu ubi hutan putih dan ubi hutan ungu. Memiliki tekstur yang berlendir seperti porang. Sama seperti umbi-umbian pada umumnya, Ubi hutan adalah salah satu makanan pokok yang memiliki kandungan karbohidrat yang penting sebagai sumber tenaga.[1]

Taksonomi

Tingkatan Takson Nama
Kingdom Plantae
Divisi Spermatophyta
Subdivisi Angiospermae
Kelas Monocotyledonae
Ordo Dioscoreales
Famili Dioscoreaceae
Genus Dioscorea
Spesies Dioscorea hispida Dennst.

Ubi hutan dikenal dengan berbagai nama daerah seperti gadung, janeng (Aceh), bitule (Gorontalo), kolope (Muna), dan ondo (Buton). Nama ilmiahnya adalah Dioscorea hispida Dennst.[2]

Morfologi

Tanaman ini merupakan liana (merambat) yang dapat tumbuh hingga 5–20 meter. Batangnya berputar ke kiri (melawan arah jarum jam), berbeda dari jenis Dioscorea lain seperti gembili yang berputar ke kanan. Daun berbentuk jantung atau tombak, berwarna hijau tua, tersusun berselang-seling. Umbi berukuran besar, berbentuk silindris atau membulat memanjang. Kulit Umbi coklat keabu-abuan atau krem muda. Daging umbi putih, krem, atau ungu tergantung varietas. Umbi mengandung senyawa dioscorin dan alkaloid yang bersifat toksik, sehingga perlu diolah dengan perendaman dan penjemuran sebelum dikonsumsi.

Ubi hutan tumbuh liar di hutan tropis Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Umumnya ditemukan di dataran rendah hingga menengah (10–800 m dpl), namun beberapa varietas tahan di dataran tinggi. Ditemukan pada jenis tanah aluvial, liat berpasir, atau tanah hutan yang gembur dan kaya bahan organik. Ideal pada daerah dengan curah hujan sedang hingga tinggi (1.500–3.000 mm/tahun). Tanaman ini tahan terhadap kekeringan dan tumbuh baik di lahan marginal, menjadikannya sumber pangan alternatif saat paceklik.[3]

Pemanfaatan Tradisional

Ubi hutan (Dioscorea hispida) memiliki peran penting sebagai cadangan pangan masyarakat Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), khususnya saat menghadapi musim kemarau panjang. Dalam kondisi iklim kering yang ekstrem, masyarakat lokal memanfaatkan ubi hutan sebagai sumber karbohidrat alternatif yang tahan lama dan dapat disimpan dalam bentuk olahan. Teknik pengolahan tradisional dilakukan dengan hati-hati karena ubi hutan mengandung senyawa toksik seperti dioscorin dan asam sianida. Proses pengolahan melibatkan perendaman dalam air campuran tanah atau garam selama beberapa hari, diikuti dengan pengeringan dan perebusan untuk menghilangkan racun sebelum dikonsumsi. Beberapa komunitas juga mengolahnya menjadi tepung sebagai bentuk diversifikasi pangan dan peningkatan umur simpan.[4]

Waktu tanam ubi hutan umumnya mengikuti pola musiman, ditanam menjelang musim hujan agar mendapat cukup kelembaban untuk tumbuh optimal. Panen dilakukan setelah 4–5 bulan, tergantung varietas dan kondisi tanah. Tanaman ini dikenal tahan terhadap kekeringan dan cocok ditanam di lahan marginal, menjadikannya strategis dalam konteks ketahanan pangan lokal[5].

Secara budaya, ubi hutan tidak hanya berfungsi sebagai pangan, tetapi juga memiliki nilai simbolik dalam praktik adat. Di beberapa daerah seperti Gorontalo dan Timor, ubi hutan dikenal sebagai bitule atau magar, dihormati sebagai “makanan terakhir” saat paceklik. Ritual panen atau pengolahan sering melibatkan gotong royong dan penyajian hasil bumi dalam bentuk makanan tradisional seperti rebusan ubi dengan kelapa parut atau campuran gula aren. Di Mahakam Ulu, misalnya, masyarakat Dayak menggelar ritual Nebukoq sebagai bentuk syukur atas panen dan pembukaan ladang baru, di mana hasil bumi seperti ubi hutan menjadi bagian dari persembahan adat.[4]

Kandungan Gizi

Ubi hutan (Dioscorea hispida) merupakan sumber karbohidrat kompleks, dengan kandungan energi sekitar 127 kkal per 100 gram bahan dapat dimakan (BDD). Dalam takaran tersebut, ubi hutan mengandung 29,5 gram karbohidrat, 3,4 gram serat pangan, dan 1,2 gram protein, serta hanya 0,5 gram lemak total, menjadikannya pangan rendah lemak namun padat energi. Teksturnya yang berlendir dan mirip porang menunjukkan kemungkinan adanya kandungan glukomanan, meskipun kadar pastinya belum banyak diteliti secara spesifik. Glukomanan sendiri dikenal sebagai serat larut air yang bermanfaat untuk menurunkan kolesterol, mengontrol gula darah, dan meningkatkan rasa kenyang.[6]

Namun, ubi hutan juga mengandung senyawa toksik seperti asam sianida (HCN) dan alkaloid dioscorin, yang dapat menyebabkan gejala keracunan seperti pusing, muntah, dan rasa terbakar di tenggorokan jika dikonsumsi tanpa pengolahan yang tepat. Sehingga, masyarakat lokal biasanya melakukan proses perendaman, perebusan, atau pengeringan untuk menghilangkan racun sebelum dikonsumsi. Di beberapa daerah, teknik tradisional seperti merendam dalam air campuran tanah atau abu selama beberapa hari digunakan untuk menetralisir senyawa berbahaya tersebut.[7]

Rujukan

  1. Sarno, A. M. T., & Bain, A. Potensi Nutrien Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst) yang Direndam dalam Ekstrak Kulit Langir (Albizia Saponaria Lour) Nutrient Potential of Wild Yam (Dioscorea hispida Dennst) Soaked in Langir Bark Extract (Albizia saponaria Lour).
  2. Tolangara, A. (2020). Dioscorea Maluku Utara: Keanekaragaman Jenis dan Bentuk Pemanfaatan. Badan Penerbit UNM.
  3. Bunyani, N. A., Roman, M., & Naisanu, J. (2020). Utilization of forest plants as local food sources for the Oben Village community, Nekamese District, Kupang Regency. Jurnal Biologi Tropis, 20(3), 347-354.
  4. 4,0 4,1 Punonoo, Y. M. (2024). Bitule, Ubi Hutan Cadangan Makanan Saat Paceklik. RRI Gorontalo.
  5. Harnowo, D., & Utomo, J. S. (2020). Ubi Jalar: Dari Morfologi dan Pola Pertumbuhan hingga Prospek Pengembangan. Universitas Negeri Malang.
  6. Rahmi, Y., & Kusuma, T. S. (2020). Ilmu bahan makanan. Universitas Brawijaya Press.
  7. Estiasih, T., Putri, W. D. R., & Waziiroh, E. (2017). Umbi-umbian dan Pengolahannya. Universitas brawijaya press.