Pekawai: Perbedaan antara revisi
(Artikel baru) |
(Tidak ada perbedaan)
|
Revisi per 9 Desember 2025 12.12

Pekawai (Durio kutejensis) atau yang disebut dengan nama "lai" oleh masyarakata Kalimantan Barat. Pekawai merupakan salah satu buah hutan tropis yang masih jarang dibudidayakan meski memiliki cita rasa dan karakter yang unik. Buah ini termasuk dalam marga Durio, sehingga masih satu keluarga dengan durian, tetapi sifat dan tampilannya membuatnya menempati ruang tersendiri dalam kekayaan buah endemik Kalimantan[1]. Mayarakat Dayak Iban di Desa Mensiau, menjadikan pekawai bukan hanya dianggap sebagai buah liar, tetapi juga bagian dari identitas budaya yang terhubung erat dengan lanskap hutan dan kehidupan masyarakat setempat.
Morfologi
Secara morfologi, pekawai memiliki bentuk yang menyerupai durian kecil dengan kulit berwarna kuning hingga oranye cerah, tergantung varietasnya. Duri-durinya lebih pendek dan rapat, sehingga tampak lebih “jinak” dibanding durian biasa. Daging buahnya tebal, agak kering, dan tidak terlalu berair, dengan rasa manis ringan serta aroma yang jauh lebih lembut. Teksturnya yang lengket menjadi ciri khas utama yang membedakannya dari durian komersial yang cenderung lembek dan beraroma kuat.
Tinggi pohon dapat mencapai 25 m, berdaun elips memanjang berukuran 20–33 × 6–12 cm dengan permukaan atas hijau halus dan bagian bawah berwarna keperakan keemasan. Bunganya berwarna merah muda kemerahan berdiameter sekitar 6,6 cm.
Persebaran
Pohon pekawai tumbuh di hutan hujan dataran rendah Kalimantan, termasuk kawasan pedesaan yang masih memiliki tutupan hutan alami. Tanaman ini sering dijumpai di sela-sela kebun karet lama, tepian hutan desa, atau area yang belum lama dibuka untuk budidaya. Meski secara alami menyebar luas di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Utara, populasinya cenderung menurun karena masyarakat lebih memilih menanam tanaman komersial seperti sawit, durian unggul, atau tanaman bernilai pasar tinggi lainnya.
Sejarah
Pekawai telah lama menjadi bagian dari konsumsi masyarakat adat Kalimantan Barat. Tetua-tetua adat, seperti para sesepuh Dayak Iban di Desa Mensiau, menceritakan bahwa buah ini biasa muncul setelah musim durian lewat. Dulu, pekawai dipanen langsung dari pohon-pohon tua yang tumbuh alami di hutan desa. Namun seiring perubahan ekonomi lokal, mulai dari berkembangnya kebun sawit hingga meningkatnya penambangan emas sungai minat menanam pekawai semakin berkurang. Pohon-pohon tersisa kini banyak ditemukan sebagai “warisan” di kebun-kebun lama atau tegakan hutan yang masih terjaga.
Kandungan Gizi
Dari sisi nutrisi, pekawai menyimpan keunggulan yang jarang diketahui. Kandungan gulanya lebih rendah dibanding durian monthong, namun kadar seratnya justru lebih tinggi. Dalam 100 gram durian monthong terdapat 3,2 gram serat dan 14,89 gram gula[2]. Sedangkan, kandungan gula pekawai kultivar kuning jauh lebih rendah yaitu hanya 6,44 gram saja. Nilai kandungan seratnya pun lebih tinggi di banding durian, yaitu 4,25 gram[3].
Referensi
- ↑ Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. 2005. Keanekaragaman Jenis dan Sumber Plasma Nutfah Durio (Durio spp.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah. 11 (1): 28-33. Diakses dari https://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/2130
- ↑ Aziz NA, Jalil AM. Bioactive Compounds, Nutritional Value, and Potential Health Benefits of Indigenous Durian (Durio Zibethinus Murr.). Foods. 13: 8(3).
- ↑ Kiprah AgroForestri. Pekawai kerabat durian yang kurang terkenal tapi menyimpan potensi. diakses dari https://kiprahagroforestri.id/blog/pekawaikerabat-durian-yang-kurang-terkenal-tapi-menyimpan-potensi
