Puluq Mandoti

Dari WikiPangan
Revisi sejak 5 Februari 2024 15.19 oleh Miminwikipangan (bicara | kontrib) (Miminwikipangan memindahkan halaman Pulu mandoti ke Puluq mandoti)
pulu mandoti dan sokko pulu mandoti

Pulu mandoti adalah salah satu jenis padi lokal Kabupaten Enrekang, tepatnya di Desa Salukanan dan Desa Kendenan, Kecamatan Baraka. Pulu mandoti memiliki dua keunikan. Pertama, memiliki aroma khas yang wangi. Keunikan lainnya, Pulu Mandoti konon hanya dapat tumbuh di dua desa, yaitu Desa Salukanan dan Desa Kendenan, Kecamatan Baraka sehingga disebut sebagai padi ketan khas daerah Duri. Bahkan jika padi lokal ini ditanam di tempat lain, bisa tumbuh dan berbuah tetapi aromanya tidak akan seharum di daerah asalnya. Peneliti menduga hal tersebut dikarenakan tanah di Desa Salukanan dan Kendenan memiliki unsur hara yang sangat spesifik dan tinggi. Keunikan ini membuat beras ini memiliki harga yang mahal di pasaran.

Pulu mandoti biasa dimasak menjadi sokko puluq mandoti ketika upacara pernikahan, kematian, dan acara-acara hajatan lainnya. Namun, di Desa Salukanan dan Desa Kendenan, pantang untuk menyajikan pulu mandoti dalam acara akikah.

Etimologi

Di Enrekang, jenis padi dibagi menjadi dua, yakni koah dan pulu. Istilah koah diperuntukkan untuk padi yang dimasak menjadi beras, seperti pare tillok, pare jambu, pare lambau, pare riri, pare barri, dan pare doi. Sedangkan, pulu adalah istilah yang diperuntukkan untuk beras ketan, seperti pulu mandoti (ketan merah), pulu pinjan (ketan putih), dan pulu lotong (ketan hitam).

Mandoti berasal dari Bahasa Duri yang terdiri atas dua kata, yaitu mang yang berarti melakukan dan doti yang berarti perlakukan jampi-jampi untuk mempengaruhi akal pikiran dan orang lain. Sehingga mangdoti bisa diartikan sebagai melakukan jampi-jampi untuk mempengaruhi akal pikiran dan orang lain. Pemberian nama ini wajar diberikan kepada pulu mandoti sebab aroma pulu mandoti yang begitu kuat dan khas yang dapat membuat lapar orang yang menghirup wanginya.

Sejarah

Pulu mandoti diyakini dibawa oleh orang yang turun dari langit (Tomanurung) yang bernama Towalli dan diwariskan kepada anaknya, Bolong Ulu. Suatu waktu, ketika Bolong Ulu mengembangkan pulu mandoti. Ketika dipanen, dimasak, dan dimasak untuk upacara ritual, ternyata beras yang dimasak mengeluarkan aroma yang khas dan tajam. Pada waktu itu, berkembang pemahaman di masyarakat bahwa apabila ada aroma yang tajam dan asing yang berasal dari satu, maka itu berarti orang di rumah tersebut sedang mempersiapkan sesaji untuk menolak bala[1]

Rujukan