Nale: Perbedaan antara revisi

Dari WikiPangan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2: Baris 2:


== '''''Sejarah  Nale/Nyale''''' ==
== '''''Sejarah  Nale/Nyale''''' ==
Berdasarkan cerita turun-temurun yang disampaikan secara lisan, tradisi Tewa Nale/Guti Nale telah dimulai sejak tahun 500 Masehi. Pada awalnya, Nale berasal dari perairan desa Duli, sala satu desa di Alor yang terletak di Selat Merica. Nale merupakan cacing laut berwarna hijiau kebiruan yang hanya muncul pada musim hujan di Bulan Pebruari dan Maret.Tradisi Tewa Nale/Gute Nale dibawah oleh dua orang pendatang bernama Srona dan Srani ke kampung Mingar (Lembata) <ref><nowiki>https://1001indonesia.net/guti-nale-tradisi-tangkap-cacing-laut-masyarakat-mingar-di-pulau-lembata/</nowiki></ref>.
Berdasarkan cerita turun-temurun yang disampaikan secara lisan, tradisi Tewa Nale/Guti Nale telah dimulai sejak tahun 500 Masehi. Pada awalnya, Nale berasal dari perairan desa Duli, salah satu desa di Alor yang terletak di Selat Merica. Nale merupakan cacing laut berwarna hijiau kebiruan yang hanya muncul pada musim hujan di Bulan Pebruari dan Maret.Tradisi Tewa Nale/Gute Nale dibawah oleh dua orang pendatang bernama Srona dan Srani ke kampung Mingar (Lembata) <ref><nowiki>https://1001indonesia.net/guti-nale-tradisi-tangkap-cacing-laut-masyarakat-mingar-di-pulau-lembata/</nowiki></ref>.


Srona dan Srani kemudian memperkenalkan Nale kepada Belake dan Geroda (Suku Ketepapa) serta Belawa (Suku Ata Kabeleng). Kabar baik ini kemudian disebarluaskan kepada seluruh masyarakat Mingar. Selama tinggal bersama masyarakat Mingar, Srona dan Srani tidak hanya memperkenalkan cara menangkap Nale, tetapi juga mengajarkan kewajiban dan pantangan yang harus diikuti ketika menangkap Nale. Mereka juga mewariskan pengetahuan tentang cara berkomunikasi, memanggil, dan berpamitan dengan Nale. Dengan demikian, Srona dan Srani berkontribusi besar dalam memperkenalkan dan melestarikan tradisi Tewa Nale/Guti Nale di kampung Mingar <ref>Malang UN. Kata Kunci: Sumber Belajar, Kearifan Lokal, Kegiatan Ekonomi, Sumber. 2013;1–9. </ref>.   
Srona dan Srani kemudian memperkenalkan Nale kepada Belake dan Geroda (Suku Ketepapa) serta Belawa (Suku Ata Kabeleng). Kabar baik ini kemudian disebarluaskan kepada seluruh masyarakat Mingar. Selama tinggal bersama masyarakat Mingar, Srona dan Srani tidak hanya memperkenalkan cara menangkap Nale, tetapi juga mengajarkan kewajiban dan pantangan yang harus diikuti ketika menangkap Nale. Mereka juga mewariskan pengetahuan tentang cara berkomunikasi, memanggil, dan berpamitan dengan Nale. Dengan demikian, Srona dan Srani berkontribusi besar dalam memperkenalkan dan melestarikan tradisi Tewa Nale/Guti Nale di kampung Mingar <ref>Malang UN. Kata Kunci: Sumber Belajar, Kearifan Lokal, Kegiatan Ekonomi, Sumber. 2013;1–9. </ref>.   

Revisi per 14 Desember 2023 05.19

(Foto fino-monteiro.blogspot.com)
(Foto fino-monteiro.blogspot.com)Nale/Nyale (Cacing Laut)

Sejarah  Nale/Nyale

Berdasarkan cerita turun-temurun yang disampaikan secara lisan, tradisi Tewa Nale/Guti Nale telah dimulai sejak tahun 500 Masehi. Pada awalnya, Nale berasal dari perairan desa Duli, salah satu desa di Alor yang terletak di Selat Merica. Nale merupakan cacing laut berwarna hijiau kebiruan yang hanya muncul pada musim hujan di Bulan Pebruari dan Maret.Tradisi Tewa Nale/Gute Nale dibawah oleh dua orang pendatang bernama Srona dan Srani ke kampung Mingar (Lembata) [1].

Srona dan Srani kemudian memperkenalkan Nale kepada Belake dan Geroda (Suku Ketepapa) serta Belawa (Suku Ata Kabeleng). Kabar baik ini kemudian disebarluaskan kepada seluruh masyarakat Mingar. Selama tinggal bersama masyarakat Mingar, Srona dan Srani tidak hanya memperkenalkan cara menangkap Nale, tetapi juga mengajarkan kewajiban dan pantangan yang harus diikuti ketika menangkap Nale. Mereka juga mewariskan pengetahuan tentang cara berkomunikasi, memanggil, dan berpamitan dengan Nale. Dengan demikian, Srona dan Srani berkontribusi besar dalam memperkenalkan dan melestarikan tradisi Tewa Nale/Guti Nale di kampung Mingar [2].

Nale/Nyale (Cacing Laut)

Masyarakat solor memiliki sebuah tradisi yang diwariskan turun temurun, yaitu Tewa Nale/Gute Nale. Tewa Nale/Gute Nale adalah aktivitas menangkap atau mengambil Nale yang ikan tersebut sejenis cacing laut. Ritual ini dilakukan setiap bulan Februari sampai Maret setiap tahun sebagai bagian dari warisan budaya yang dijaga dengan penuh kebanggaan oleh masyarakat solor. Tradisi menangkap Nale ini biasanya terjadi secara bersama-sama oleh penduduk desa. Biasanya, tradisi ini dimulai dengan upacara adat yang melibatkan pemuka adat.

Dalam pelaksanaan tradisi Tewa Nale/Gute Nale, digunakan beberapa peralatan khusus yaitu seniru anyaman dari daun lontar, sebuah alat yang digunakan untuk menangkap atau mengambil nale. Setelah nale penuh di seniru, mereka juga menggunakan sebenale, wadah khusus yang berfungsi untuk menampung nale. Untuk memberikan penerangan di tengah kegelapan, masyarakat menggunakan ku'um (Obor) [3].

Tradisi menangkap ikan Nale ini juga memiliki nilai sosial yang kuat. Ikan yang berhasil ditangkap dibagikan kepada seluruh masyarakat desa. Ini tidak hanya sebagai sumber makanan, tetapi juga sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial di antara masyarakat Solor.

Ketika melakukan aktivitas pengambilan nale, masyarakat secara bersama-sama melantunkan yel-yel kebahagiaan dengan teriakan "duli gere-duli gere-duli gere". Teriakan ini semacam seruan sukacita yang mencerminkan kegembiraan atas kedatangan nale, memberikan nuansa meriah dan kebersamaan selama pelaksanaan tradisi Tewa Nale/Gute Nale di Solor.

Ikan Nale yang diperoleh, kemudian ada yang difermentasi untuk menambah masa simpan si Nale, dengan tujuan apabila terjadi musim barat/tenggara maka aktivitas penangkapan tidak bisa dilakukan. Sehingga dengan tersedianya Nale dijadikan sebagai lauk untuk pemenuhan protein hewani. Kandungan gizi cacing laut nyale yaitu kadar air 6,22%., kadar abu 10.41%, protein kasar 52.34%, lemak kasar 9.61%, serat kasar 0.51%, BETN 27.13%, dan Aktioksidan 53.59% hal ini menunjukkan cacing nyale dapat dijadikan sebagai pangan alternatif bersumber protein yang dapat menggantikan sumber protein ikan, daging, telur, tempe dan tahu [4]

Olahan Nale: Lawar Nale

  1. Tanpa proses pemasakan, Ikan nale langsug dicampur dengan perasan air jeruk nipis/jeruk purut, lombok, bawang, dan daun kemangi yang dihidangkan bersama dengan pisang rebus atau ubi rebus.
  2. Ikan Nale dicampur dengan parutan kelapa, diberi bumbu seperti garam, micin, perasan air jeruk nipis/purut, daun kemangi, dan lombok (sesuai selera). Kemudian dimasak dengan api kecil hingga kering. Biasanya dihidangkan dengan nasi, pisang rebus, dan ubi rebus.

Referensi

  1. https://1001indonesia.net/guti-nale-tradisi-tangkap-cacing-laut-masyarakat-mingar-di-pulau-lembata/
  2. Malang UN. Kata Kunci: Sumber Belajar, Kearifan Lokal, Kegiatan Ekonomi, Sumber. 2013;1–9.
  3. https://www.atapunang.com/2020/03/sejarah-tradisi-dan-cara-pengolahan-nale.html
  4. Vertygo, Stormy. 2022. Analisis Kandungan Nutrisi cacing laut nyale pada perairan Pantai Wanokaka, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pendidikan dan Sains Biologi.1(2)