Cendawan: Perbedaan antara revisi
(membuat artikel rintisan) |
k (Saya menambahkan pemanfaatan dan kandungan gizi) |
||
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
Cendawan atau jamur yang biasanya tumbuh disekitar pepohonan merupakan pangan lokal yang dapat ditemukan di Nusa Tenggara Timur. Biasanya cendawan diolah dengan cara diasap atau dikeringkan. | Cendawan atau jamur yang biasanya tumbuh disekitar pepohonan merupakan [[Pangan Lokal|pangan lokal]] yang dapat ditemukan di Nusa Tenggara Timur. Biasanya cendawan diolah dengan cara diasap atau dikeringkan. Keanekaragaman jamur di daerah ini mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya hayati yang tersedia secara musiman. Beberapa jenis jamur yang umum dikonsumsi oleh masyarakat meliputi jamur kayu ''(Auricularia auricula-judae)'' yang dikenal luas sebagai jamur kuping, jamur merang lokal yang tumbuh di media jerami atau batang pisang, serta jamur tanah yang muncul setelah hujan dan petir, sering disebut “kulat taun” dalam bahasa daerah. Jamur-jamur ini biasanya ditemukan di bawah pohon besar, batang lapuk, atau tanah lembap yang kaya akan bahan organik. Pemanfaatan cendawan sebagai bagian dari pangan lokal menunjukkan hubungan ekologis dan budaya yang kuat antara masyarakat dengan lingkungannya.<ref>LIPI. (2017). ''Jamur sebagai sumber pangan dan obat tradisional''. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.</ref> | ||
== Pemanfaatan == | |||
Cendawan lokal Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak hanya berperan sebagai sumber pangan, tetapi juga memiliki nilai budaya yang kental dalam cara pengolahannya. Masyarakat setempat memanfaatkan cendawan dengan berbagai teknik tradisional yang mempertahankan kualitas dan cita rasa. Pengasapan adalah metode yang umum digunakan untuk memperpanjang umur simpan sekaligus memberi aroma khas yang melekat pada masakan khas daerah. Selain itu, jamur dikeringkan sebagai cadangan pangan, terutama saat musim panen terbatas atau dalam kondisi darurat. Jamur juga direbus atau ditumis dan disajikan sebagai lauk pendamping jagung bose atau nasi kelor, dua makanan pokok yang populer di wilayah ini. Lebih dari sekadar bahan pangan, cendawan kerap menjadi elemen penting dalam ritual adat, misalnya sebagai bagian dari persembahan atau simbol hasil panen yang melimpah. <ref>Susanti, D., & Wulandari, F. (2020). Etnobotani jamur liar: Studi kasus di Timor Tengah Selatan. ''Jurnal Biologi Tropis'', 18(3), 112–120. <nowiki>https://doi.org/10.24843/jbt.2020.v18.i03.p02</nowiki></ref> | |||
== Kandungan Gizi == | |||
Kandungan gizi per 100 gram jamur segar (rata-rata): | |||
- Kalori: 22–35 kkal | |||
- Protein: 2–3 gram | |||
- Serat: 1–2 gram | |||
- Zat besi: 1–2 mg | |||
- Kalium: 300–400 mg | |||
Jamur bebas lemak dan rendah kalori, cocok untuk diet sehat dan sumber protein nabati.<ref>Rania, R. (2022). ''KAJIAN PEMBUATAN EKADO DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG KACANG KEDELAI DAN JAMUR KUPING (AURICULARIA AURICULA) SEBAGAI ALTERNATIF MAKANAN KAYA PROTEIN DAN SERAT UNTUK PENDERITA PENYAKIT TIDAK MENULAR'' (Doctoral dissertation, Poltekkes Tanjungkarang).</ref> | |||
== Rujukan == | |||
[[Kategori:Nusa Tenggara Timur]] | |||
[[Kategori:Bahan Pangan]] |
Revisi terkini sejak 5 Agustus 2025 10.29
Cendawan atau jamur yang biasanya tumbuh disekitar pepohonan merupakan pangan lokal yang dapat ditemukan di Nusa Tenggara Timur. Biasanya cendawan diolah dengan cara diasap atau dikeringkan. Keanekaragaman jamur di daerah ini mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya hayati yang tersedia secara musiman. Beberapa jenis jamur yang umum dikonsumsi oleh masyarakat meliputi jamur kayu (Auricularia auricula-judae) yang dikenal luas sebagai jamur kuping, jamur merang lokal yang tumbuh di media jerami atau batang pisang, serta jamur tanah yang muncul setelah hujan dan petir, sering disebut “kulat taun” dalam bahasa daerah. Jamur-jamur ini biasanya ditemukan di bawah pohon besar, batang lapuk, atau tanah lembap yang kaya akan bahan organik. Pemanfaatan cendawan sebagai bagian dari pangan lokal menunjukkan hubungan ekologis dan budaya yang kuat antara masyarakat dengan lingkungannya.[1]
Pemanfaatan
Cendawan lokal Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak hanya berperan sebagai sumber pangan, tetapi juga memiliki nilai budaya yang kental dalam cara pengolahannya. Masyarakat setempat memanfaatkan cendawan dengan berbagai teknik tradisional yang mempertahankan kualitas dan cita rasa. Pengasapan adalah metode yang umum digunakan untuk memperpanjang umur simpan sekaligus memberi aroma khas yang melekat pada masakan khas daerah. Selain itu, jamur dikeringkan sebagai cadangan pangan, terutama saat musim panen terbatas atau dalam kondisi darurat. Jamur juga direbus atau ditumis dan disajikan sebagai lauk pendamping jagung bose atau nasi kelor, dua makanan pokok yang populer di wilayah ini. Lebih dari sekadar bahan pangan, cendawan kerap menjadi elemen penting dalam ritual adat, misalnya sebagai bagian dari persembahan atau simbol hasil panen yang melimpah. [2]
Kandungan Gizi
Kandungan gizi per 100 gram jamur segar (rata-rata):
- Kalori: 22–35 kkal
- Protein: 2–3 gram
- Serat: 1–2 gram
- Zat besi: 1–2 mg
- Kalium: 300–400 mg
Jamur bebas lemak dan rendah kalori, cocok untuk diet sehat dan sumber protein nabati.[3]
Rujukan
- ↑ LIPI. (2017). Jamur sebagai sumber pangan dan obat tradisional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
- ↑ Susanti, D., & Wulandari, F. (2020). Etnobotani jamur liar: Studi kasus di Timor Tengah Selatan. Jurnal Biologi Tropis, 18(3), 112–120. https://doi.org/10.24843/jbt.2020.v18.i03.p02
- ↑ Rania, R. (2022). KAJIAN PEMBUATAN EKADO DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG KACANG KEDELAI DAN JAMUR KUPING (AURICULARIA AURICULA) SEBAGAI ALTERNATIF MAKANAN KAYA PROTEIN DAN SERAT UNTUK PENDERITA PENYAKIT TIDAK MENULAR (Doctoral dissertation, Poltekkes Tanjungkarang).